dropdeadgorgeousrock.com – Sejak 2023, berbagai ulasan menggambarkan The Eras Tour dari Taylor Swift sebagai –salah satu atau mungkin– konser terbesar era saat ini. Kini saya memahami mengapa ulasan itu benar adanya. Pengalaman The Eras Tour dari Taylor Swift memang layak disebut sebagai salah satu konser yang mesti didatangi oleh siapa saja yang mengaku penggemar pertunjukan musik.
Kalaupun tidak mungkin karena tiket sold out, menyaksikan konser ini dalam bentuk film dokumenter di layanan streaming yang akan rilis minggu depan mungkin sedikit banyak bisa cukup menghibur. Alasan saya setuju mendaulat The Eras Tour sebagai konser terbaik yang pernah saya datangi –terlepas tentu saja ada kekurangannya– adalah imbas dari chemistry antara Taylor Swift dan penggemarnya.
Hal itu sudah terasa sejak saya berada di Bandara Soekarno-Hatta pada 2 Maret 2024, untuk berangkat melihat konser itu pada 3 Maret 2024, atau malam kedua The Eras Tour Singapura. Banyak penumpang yang terbang ke negara itu ditemani barang-barang yang jadi tanda ia seorang fans Taylor Swift: gelang manik atau segala kaus/pakaian yang berkaitan dengan musisi itu.
Begitu tiba di Singapura, suasana The Eras Tour lebih kental terasa. Saya rasa tak berlebihan menilai Singapura bukan cuma ‘memonopoli’ Taylor Swift, tapi negara cuma selebar Jakarta itu ikut merayakan The Eras Tour. Nyaris di berbagai toko, mal, bahkan di pesawat dan bandara, lagu dan segala pernak-pernik soal Taylor Swift bisa ditemukan. Stasiun MRT Singapura yang sudah padat dengan penduduknya jadi makin padat dengan Swifties dari berbagai negara.
Singapura mendadak jadi ibu kota Swiftie. Di sekitaran National Stadium, yang dalam enam hari setiap malamnya jadi lokasi 60 ribu penonton Eras Tour, pun dipenuhi oleh Swifties. Tenda-tenda yang menjual merchandise orisinal disesaki penggemar dan mereka yang menyediakan jasa titip. Saya sendiri ikut antre tiga jam untuk mendapatkan merchandise, dari kegerahan karena lembab, lalu basah karena hujan, kering lagi karena terik.
Pada 2 Maret malam, saya juga melihat ribuan orang berkumpul di depan stadion hanya untuk ikut bernyanyi mengikuti nyanyian Taylor Swift di dalam. Mereka pun datang bukan dengan asal datang, tapi ikut berdandan dan berkreasi seperti para pemegang tiket. Hingga ketika giliran saya masuk bersama puluhan ribu orang masuk stadion pada 3 Maret 2024 sore, saya menyadari bahwa promotor Eras Tour bukan cuma butuh modal duit, koneksi, dan manpower dalam jumlah cukup besar untuk menggelar konser ini.
Promotor yang berani menggelar Eras Tour mestilah memilih petugas yang sigap dan manut dengan aturan. Bila terjadi sesuatu, misalnya hujan, mereka mesti sigap mengatur lebih dari 50 ribu orang yang datang bersamaan agar konser berjalan tepat waktu. Ketika saya datang, hujan turun dan membuat seluruh pemegang tiket yang semula dipecah ke beberapa akses dikumpulkan jadi satu jalur. Bayangkan betapa padatnya. Namun apa yang terjadi? Alur tetap berjalan tanpa macet berhenti.
Saya tak sampai 30 menit untuk menunggu masuk arena venue dengan menunjukkan tiket, foto-foto depan stadion, menjalani pemeriksaan tas, antre menuju gate, scan barcode, mendapatkan gelang, hingga mencari tempat duduk sesuai tiket. Dengan segala kelancaran itu, saya bahkan masih lowong menikmati skala panggung The Eras Tour dan menunggu Sabrina Carpenter membuka sesinya tepat pukul 18.00.
Carpenter beraksi pembuka The Eras Tour dengan membawakan sekitar 10 lagu dan menemani kursi National Stadium full house 60 ribu penonton, dari floor hingga ujung tribun. Sabrina tampil hingga pukul 18.45. Seiring dengan jam ikonis Eras Tour muncul di layar raksasa pada 18.58, seisi stadion bergemuruh. Semua orang mengeluarkan ponsel, menantikan pembukaan epik Eras Tour, dan menyambut sang empunya hajat, Taylor Swift, tepat pukul 19.00.
Saya rasa tak perlu banyak penjelasan bagaimana Taylor Swift menyajikan satu era ke era yang lain. Semua sudah tersebar di media sosial dari berbagai fancam, dan ada juga di film konser The Eras Tour yang akan nanti rilis. Seluruh sapaan, koreografi, improvisasi, nyaris sama dari satu konser ke konser lain. Semula, saya merasa kesamaan itu membuat Taylor terlihat ‘kurang kreatif’. Namun setelah menjalani konser ini dan mengingat jadwal dia yang super padat, saya sadar itu satu-satunya cara agar konser ini berlangsung optimal dan efisien.
Hanya satu yang saya tangkap berbeda dari Taylor kala itu. Saya merasa dirinya kurang fit, suaranya agak sengau. Bahkan saya sempat melihat ia batuk kecil beberapa kali, dan terlihat semakin batuk dari video tangkapan penonton pada malam ketiga. Saya rasa kondisi Taylor agak menurun setelah konser maraton di Tokyo, lanjut ke Melbourne, dan Sydney. Di Australia, hujan pun mengguyur konser Eras Tour seperti di Singapura. Kondisi tropis Singapura yang lembab dan jadwal padat rasanya jadi alasan logis kenapa imun Taylor Swift akhirnya goyah.
Taylor pun mengakui kala akan membawakan champange problems pada malam itu. Ia bilang rambutnya kembali “ke setelan pabrik” alias keriting karena kelembaban Singapura. Saya rasanya ingin menimpali, “apa jadinya kalau lo ke Jakarta yang kadang gerah lembabnya di luar logika, Tay?”. Namun sebatuk dan sesengaunya suara Taylor Swift, ia tetap bisa bernyanyi lagu 10 menit hanya dengan iringan gitar, koreografi keliling panggung sepanjang separuh lapangan sepak bola, membawakan banyak nada tinggi, dan menyanyikan sekitar 44 lagu dari 10 album yang sebagian besar adalah hit.
Ia merayakan 18 tahun perjalanannya bersama para penggemar yang jadi Swifties dari berbagai era dan negara, dengan segala efek cahaya, semburan api dan asap, dentuman sound, hingga confetti yang grande. Saya beruntung diberi Taylor Swift beberapa lagu yang memang jadi favorit saya dalam sesi Surprise Songs, yakni long story short dari evermore FOR4D (2020) dan Clean dari 1989 (2014).
Plus, saya ikut jadi saksi pengumuman versi akhir dari album terbarunya, The Tortured Poets Department, yang rilis 19 April nanti. Di tengah perayaan yang sangat vibrant, suara sound dan akustik stadion kebanggaan Singapura ini menurut saya kurang proper. Beberapa kali saya merasa suara dari speaker kurang jernih hingga echoes yang membuat risih telinga saya.
Namun kelemahan itu tertutupi teriakan dan nyanyian 60 ribu penonton yang mengikuti Taylor Swift. Anehnya, saya menemukan rekaman fancam saya punya kualitas audio lebih baik dibanding yang saya dengar secara langsung di stadion. Begitu konser rampung dengan magis dan semarak usai 3,5 jam, Singapura membuktikan mereka layak jadi rumah Eras Tour di Asia Tenggara.
Puluhan ribu orang keluar stadion secara bersamaan dengan sebagian besar menuju MRT. Akses stasiun pun diberlakukan buka-tutup demi mencegah penumpukan di dalam stasiun, meski jarak tiba kereta sudah dipercepat tak sampai per lima menit.
Para Swifties yang sejak keluar stadion masih bernyanyi-nyanyi, justru diajak karaoke bareng lagu Taylor Swift oleh disjoki depan stasiun selama fase buka-tutup. Namanya juga penggemar berat, begitu mendengar lagu Taylor otomatis mereka langsung bernyanyi tanpa malu-malu. Uniknya, momen “merayakan musik Taylor Swift” ini bukan cuma dinikmati penonton konser, tetapi juga petugas crowd management hingga polisi yang berjaga-jaga. Semua menikmati, minimal menggoyang-goyangkan kepala.
Kelar konser 60 ribu penonton pukul 22.30 dan sudah tiba di kamar hotel kurang dari sejam, saya anggap sebagai kecanggihan promotor dan Singapura dalam menggelar The Eras Tour. Bila konser ini di SUGBK, saya rasa baru akan tiba di kamar saya di Kebayoran lewat tengah malam. Akhirnya, The Eras Tour memang jadi panggung terbaik dalam merayakan sebuah fenomena bernama Taylor Swift. Dan tentu saja, pesta dan hajatan besar bagi para Swifties. Butuh lebih dari sekadar promotor profesional dan mumpuni untuk menggelar konser ini mengingat skala produksi dan massa yang datang, yakni pemerintah yang peduli dan infrastruktur kota yang memadai menghadapi The Eras Tour and The Taylor Swift effect.