Satu dekade lalu, kita masih bisa melihat bagaimana kultur Emo dan Gothic menjadi idola kawula muda pada jamannya.
Dengan ciri khas rambut setengah gondrong bergaya poni lempar yang menutupi sebagian wajah, dipadukan dengan kaos-kaos distro bergambar monster dan celana skinny jeans.
Pastinya kita ingat dengan jelas, invasi kultur ini begitu populer dan menjadi trend yang digemari sekaligus ditiru kebanyakan orang masa itu.
Generasi awal 2000-an yang menjadi bagian dari subkultur ini pasti sudah tidak asing dengan lagu-lagu emo yang kental dengan lirik emosional dan sangat pribadi.
Biasanya lirik-lirik ini terkait dengan hubungan percintaan, patah hati, ketidaknyamanan dan kebencian. Emo dianggap sebagai simbol keresahan dan kegelisahan bagi para remaja.
Di Indonesia sendiri, perkembangan subkultur ini didukung oleh perkembangan teknologi khususnya internet yang semakin pesat.
Hal yang paling diingat adalah kehadiran MySpace, jaringan sosial pertama yang juga lekat dengan kultur permusikan membuat pergerakan sosial ini makin berkembang.
Perkembangannya di Indonesia dimulai dalam kurun waktu 2003 hingga 2006, lalu membesar setelah tahun-tahun tersebut.
Pada tahun 2008 perkembangan kultur Emo di Indonesia disebut sebagai momen puncak yang paling diingat.
Kala itu menjamur banyak sekali band-band Screamo yang berpenampilan Emo serta menyanyikan lirik-lirik gelap penuh kesengsaraan dalam gigs yang sering diselenggarakan.
Yakni band-band seperti Killed By Butterfly, Seems Like Yesterday, Thirteen, The Side Project, Jakarta Flames, Sweet As Revenge dan yang paling terkenal hingga kini Killing Me Inside.
Besarnya antusiasme masyarakat terhadap musik ini tentunya tak serta merta membuat subkultur ini aman dari haters, banyak juga yang menganggap Emo sebagai jenis musik cengeng, kebanyakan dandan dan parahnya disebut sebagai musik banci.
Banyak terjadi insiden pelemparan botol maupun sepatu saat band-band beraliran Emo sedang tampil, yang terparah mungkin dialami oleh Pee Wee Gaskins yang sempat mendapat ancaman pengeroyokan saat sedang manggung di Surabaya.
Perkembangan informasi juga turut berpengaruh terhadap surutnya euforia masyarakat terhadap musik Emo, salah satunya adalah berkembangnya aliran musik K-Pop dan EDM yang mengembalikan musik Emo kembali menjadi segmentasi Underground.
Namun akhir-akhir ini nama Emo kembali mencuat ke permukaan dunia musik, para penikmatnya sedang gencar untuk membangkitkan dunia per-emo-an dengan campaign yang paling terkenal adalah Make Emo Great Again.
Terbukti, antusiasme campaign tersebut mampu mengumpulkan banyak massa lewat konser-konser gigs bertajuk ‘Emo Night‘ yang diselenggarakan di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung dan Semarang.
Puncaknya saat konser besar bernama” When We Were Young” dilaksanakan di Las Vegas, Amerika Serikat pada 22 Oktober 2022 silam. Festival ini ramai jadi perbincangan di para pecinta musik bahkan sampai menjadi trending topic cukup lama di sosial media.
Link Terkait: